Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Detik-detik Keruntuhan Suharto

Hari ini, tak terasa, dua puluh tahun telah berlalu, ketika sebuah peristiwa besar yang kemudian menjadi tonggak sejarah bagi bangsa ini terjadi: Runtuhnya Orde Baru, dan dimulainya Orde Reformasi. Meski kini seolah hanya ditandai dengan Berhentinya HM Soeharto dari Kursi Kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998, namun sesungguhnya banyak peristiwa lain yang mengawali, dan banyak pula peristiwa selanjutnya yang mengikuti. Alhamdulillah, saat itu saya ikut menjadi saksi berbagai peristiwa itu.
Saat itu saya baru berumur 28 tahun, dan baru empat tahun menjadi wartawan. Ketika itu, baru sekitar satu tahun saya diangkat menjadi redaktur di Majalah Forum Keadilan. Sebagai Penanggung Jawab Rubrik Nasional, saya mendapat tugas dari rapat redaksi untuk membuat hampir seluruh penugasan untuk edisi Reformasi ini, dan menulis dua item utama. Belum lagi liputan mendalam dan menyusup di kalangan Cendana, Kelompok Militer --baik Kubu Prabowo maupun Kubu Wiranto—serta kasak-kusuk di sekitar Kubu BJ Habibie, bersama Penanggung Jawab Rubrik Wawancara, Tony Hasyim
Seiring dengan perkembangan pergulatan politik dan kesibukan meliput berbagai peristiwa yang terjadi saat itu, waktu seolah berjalan sangat cepat dan tak terasa hari sudah Jumat, Deadline terakhir. Padahal ada dua tulisan panjang harus saya tulis. Satu tentang persaingan antara Prabowo Subianto versus Wiranto, dan satu lagi tentang perkembangan politik saat Habibie menyusun Kabinet.
Tulisan pertama –soal konflik Klik Prabowo vs Klik Wiranto saya sanggup menulis, sementara tulisan yang satu –Penyusunan Kabinet Habibie-- pasti perlu waktu lagi sehingga deadline bisa terlewat. Maka saya kemudian meminta bantuan kawan Zuhri Mahrus, Redaktur Pelaksana Laporan Khusus untuk menuliskan hasil reportase saya, karena saya belum sempat membuat laporan tertulis, sementara hasil liputan dan wawancara semua masih ada di kepala saya, catatan di notes, serta hasil rekaman wawancara di kaset. Zuhri pun menyanggupi. Lalu, selama satu jam lebih secara runut saya bercerita secara oral kepada Kawan Zuhri tentang segala pertemuan, reportase, dan wawancara saya dengan berbagai tokoh politik, ketika Habibie hendak menyusun Kabinet.
Setelah saya bercerita lengkap dari A sampai Z tentang apa yang saya lihat, saya dengar, dan saya tanyakan kepada para narasumber saat Habibie menyusun Kabinet, Zuhri mungkin hanya butuh waktu dua tiga jam untuk merapikan “laporan RRI” itu menjadi tulisan yang bagus. Saya acungi jempol ke Zuhri kehebatannya ini. Lalu, saya mulai menulis tentang konflik yang terjadi antara Kelompok Prabowo versus Kelompok Wiranto.
Majalah Forum Keadilan edisi Reformasi terbit dengan cover berjudul Setelah Soeharto Mundur. Apa Lagi? Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi isi majalah Forum Keadilan saat itu paling lengkap dan paling detail di antara media-media lainnya, karena kami mengikuti secara langsung detail peristiwa dari hari ke hari di berbagai kubu elit politik, meski belum mampu membongkar seluruh jelaga misteri yang terjadi. Nah, bagaimana rincian detik-detik Runtuhnya Orde Baru, berikut laporan Majalah Forum Keadilan edisi 25 Mei 1998.
=====
Pak Harto akhirnya memilih berhenti. Ia nampaknya tidak ingin Sidang Istimewa terjadi. Tapi mengapa seorang pemimpin perkasa, yang diakui lebih 30 tahun oleh rakyatnya tiba-tiba mengambil keputusan tersebut? Mengapa seorang prajurit yang selama ini dikenal berhati baja dan sangat percaya diri menjadi lembek begitu? Mengapa Ia tidak berani menantang MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa MPR? Nampaknya Pak Harto punya alasan tersendiri, dan hanya Ia yang tahu. Yang jelas, masih banyak misteri yang belum terungkap dibalik peristiwa politik tersebut. Berikut adalah hari-hari terakhir kepemimpinan Pak Harto.
Selasa 12 Mei
Empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak oleh “oknum” aparat. Sampai tulisan ini diturunakan ABRI belum mengumumkan siapa pelaku penembakan tersebut.
[Kisah tentang peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti yang berujung pada Kerusuhan Mei kami tulis pada edisi sebelumnya, dengan cover berjudul “Duka Kita” yang hitam, dan seolah majalah kami sebagian terbakar].
Rabu 13 Mei
Masyarakat berbondong melawat keempat jenasah mahasiwa Trisaki yang disemayamkan di Kampus Trisaksi. Tapi hari perkabungan tersebut akhirnya berubah menjadi prahara. Ribuan massa yang berkumpul di kawasan sekitar kampus tersebut mengamuk. Mereka meneriakan yel-yel anti ABRI dan anti Soeharto, ”Pembunuh, pembunuh...” kata mereka. Selanjutnya kerusuhan mulai menyebar ke wilayah lain disekitar kawasan Grogol sampai menjelang subuh. Kerusuhan tersebut diikuti penjarahan harta benda milik warga keturunan Cina.
[di depan kantor kami di Velbaak, ada supermarket yang dijarah oleh perusuh. Kami melihat pola yang menarik. Penjarahan dimulai oleh beberapa orang --sekitar lima orang-- yang tampaknya sudah sangat terlatih. Merekalah yang mendobrak pintu dan memecah kaca-kaca sehingga massa yang tiba-tiba sudah berkumpul mulai ikut-ikutan merangsek. Ketika pasukan PHH berdatangan, orang-orang yang memimpin penjarahan di awal tadi sudah menghilang entah ke mana
Setelah itu saya bersama Fotografer Almarhum Fauzan Haryosudigdo dan reporter Fahmi Imanullah bergeser ke jalan Sudirman. Saat itu kendaraan sudah tidak ada lagi. Kami hanya diantar oleh Pak Jumeri, sopir kantor kami sampai di Kampus Dr Moestopo, lalu kami jalan kaki. Di Depan Universitas Atmajaya di Semanggi, mahasiswa nekat ingin masuk ke jalan, sementara di jalan pasukan PHH sudah berjajar. Kami bertiga berada di antara pasukan PHH dan mahasiswa yang akan keluar kampus. Kami meminta mahasiswa tetap di dalam.
Setelah itu kami berjalan kaki sepanjang jalan Sudirman menuju Bundaran HI. Saat itu hari sudah mulai sore. Seorang komandan PHH sempat meluapkan kejengkelannya kepada polisi yang hari itu tidak muncul sama sekali di jalanan, setelah terjadi penembakan di Universitas Trisakti. Dia juga mengeluhkan pasokan logistik yang sangat kurang. Saat itu sudah pukul 16.30, tapi mereka belum makan sama sekali.
Suasana yang kacau membuat saya terpisah dengan Fahmi dan Fauzan. Saya lalu datang ke CPDS, di jalan Suwiryo, Menteng. CPDS yang kemudian berubah nama menjadi IPS, adalah lembaga think-tank kubu Prabowo. Cita-citanya untuk menandingi CSIS, lembaga think-tank yang dibentuk Jenderal Ali Moertopo. Di sana saya mengikuti beberapa perbincangan tentang arah reformasi. Malam hari, sekitar pukul satu dini hari saya membonceng Mas (Dr) Adian Husaini pulang naik sepeda motor. Saat itu mas Adian masih menjadi wartawan Republika. Saat kami melewati Pasar Minggu, kanan kiri jalan api masih membara.]
Kamis 14 Mei
Kerusuhan terus meluas diseluruh wilayah Jakarta. Anggota ABRI nampak tidak bisa berbuat apa-apa menyaksikan penjarahan tersebut. Bahkan di beberapa lokasi kejadian sama sekali tidak ada aparat ABRI yang muncul. Situasi betul-betul tidak terkendali. Di beberapa lokasi penjarah sudah tidak pandang bulu lagi. Mereka mulai merampok harta benda milik “kaum pribumi.” Masyarakat akhirnya melakukan pengamanan sendiri. Di masyarakat tersebar isu keluarga Pak Harto melarikan diri keluar negeri. Beberapa kalangan semakin panik.
[Sore hari, saya mendengar informasi bahwa beberapa orang tokoh akan menemui Pangkostrad Letjen Prabowo Soebijanto, dan ingin mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Saya lalu berangkat ke Makostrad bersama Bang Riza Sofyat. Setelah memarkir motornya di Stasiun Gambir, kami berjalan ke Makostrad. Di halaman depan Makostrad ternyata sudah penuh Tank dan Panser. Saya lalu disuruh memutar, lewat jalan belakang. Setelah menyebut nama Prabowo dan Kivlan Zein (Kaskostrad), saya dan Bang Riza boleh masuk.
Ternyata pertemuan sudah dimulai di ruang tamu Pangkostrad. Di dalam ada beberapa tokoh, di antaranya Bang Adnan Buyung, Setyawan Djodi, Fahmi Idris dll. Tak lama kemudian kelompok tamu ke dua masuk, di antaranya Din Sjamsuddin, Muhammad Iqbal, Farid Prawiranegara, Fadli Zon dll. Pertemuan di Gedung Makostrad itu kemudian sempat diisukan sebagai pertemuan merencanakan kerusuhan. Padahal saya yang ikut datang dan melihat pertemuan itu, me tidak ada perencanaan itu.
Saya sempat diberitahu dan ditunjukkan kendaraan tempur yang akan dipakai untuk menjemput Pak Harto yang diparkir di depan Makostrad. Setelah itu saya berpisah dengan Bang Riza. Saya Ikut Bang Farid Prawiranegara dan Fadli Zon ke kantor CPDS di jalan Suwiryo, Menteng. CPDS yang kemudian berubah nama menjadi IPS, adalah lembaga think-tank kubu Prabowo. Cita-citanya untuk menandingi CSIS, lembaga think-tank yang dibentuk Jenderal Ali Moertopo. Di sana saya mengikuti beberapa perbincangan tentang arah reformasi. Beberapa tokoh berdatangan.
Tony Hasyim ternyata datang ke CPDS juga setelah bertemu Mbak Tutut dan Keluarga Cendana di jalan Cendana. Saya lalu pulang membonceng Tony. Saat lewat jalan Sudirman, kami melihat pasukan bertopi rimba stelling di berbagai tempat. Saat itu hanya motor yang kami kendarai yang ada di jalan besar itu. Di kanan kiri jalan tampak beberapa mobil terguling dan batu-batu berserakan. Tony tancap gas menuju kantor. Saat itu saya merasa ngeri kalau ditembak dari belakang, karena saya berada di belakang. Bundaran HI - Velbak mungkin hanya ditempuh 5 menit, saking ngebutnya.]
Jumat 15 Mei
Presiden tiba di Jakarta setelah melakukan perjalanan dari Kairo, Mesir. Kedatangan Pak Harto subuh hari itu tiba-tiba merubah suasana Jakarta. Hari itu aparat ABRI seolah-olah mendapat tenaga baru. Peralatan tempur berat mulai dipasang dikawasan strategis. Pasukan ABRI juga mulai menyebar seluruh pelosok Jakarta.
[Deadline penulisan Laporan Utama. Penulis pertama, kawan saya Munawar Chalil. Saya menulis tulisan kedua tentang kerusuhan di berbagai penjuru tanah air.]
Sabtu 16 Mei
Pukul 9.00. Jalan Cendana No. 8, Pak Harto menerima Rektor dan Dosen UI. Pak Harto mengatakan, ”Menjadi Presiden bukan keinginan saya, melainkan sebagai wujud tanggung jawab sebagai mandataris MPR. Karena itu bila dikehendaki saya siapa lengser keprabon sejauh dilakuan secara konstitusional dam dengan cara damai.”
Pukul 11.00. Pak Harto menerima pimpinan DPR. Harmoko menyampaikan aspirasi masyarakat yang masuk ke DPR berserta beberapa dokumen. Intinya, menuntut reformasi di segala bidang termasuk melakukan reshufle kabinet, meminta dilaksanakan Sidang Istimewa MPR dan minta agar Pak Harto mengundurkan diri sebagai Presiden.
Pukul 21.30, Menhankam/ Pangab Jenderal TNI Wiranto melalui sikap pernyataan ABRI yang dibacakan Kapuspen ABRI Brigjen TNI AW Mokodongan, menyatakan dukungannya kepada PB NU.
Pukul 2.00, pernyataan dukungan kepada PBNU itu dicabut lagi. Padahal, dalam pernyataan sehari sebelumnya, NU menyatakan penghargaan atas kesediaan pak Harto untuk mundur.
[Saat itu wartawan sempat bingung dengan konferensi pers yang tidak jelas ini. Apalagi ketika para wartawan pulang ke kantor untuk menulis berita itu ada telpon dari Letnan Kolonel Panggih, agar berita itu tidak dimuat. Namun beberapa koran yang sudah naik cetak tak sempat lagi untuk menghentikan pemuatannya. Gara-gara konferensi pers itu, ketegangan melanda. Kubu Prabowo menganggap ini manuver kudeta Kubu Wiranto. Sebab, KSAD Jenderal Soebagyo mengaku tidak tahu menahu, demikian pula KSAU dan KSAL. Kapuspen Mayjen Wahab Mokodongan mengaku hanya diperintah untuk menyiapkan konferensi pers dan membacakannya, Assospol Mayjen Mardiyanto mengatakan bahwa yang membuat Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara Yudhoyono mengatakan yang membuat Mardiyanto. Saat itu Kubu Prabowo sudah siap untuk menangkap beberapa Jenderal]
Minggu 17 Mei
Jakarta mulai hidup kembali. Penduduk keluar dari rumah. Di jalan mulai berseliweran kendaraan. Masyarakat berjejal antre membeli makanan di super market. Tentara berseragam loreng terus berjaga-jaga di hampir seluruh wilayah.
Senin, 18 Mei
Pukul 9.00 Di Gedung DPR/MPR, Senayan, ratusan mahasiswa mulai berdatangan. Selanjutnya mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dengan fraksi-fraksi di DPR.
Pukul 14.00 Pimpinan DPR mengadakan rapat pleno. Selanjutnya mereka memanggil satu persatu pimpinan fraksi DPR untuk melaporkan apsirasi yang disampaikan oleh mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat yang mengadu kepada mereka. Menurut sebuah sumber FORUM, seluruh fraksi waktu itu melaporkan bahwa aspiarasi yang masuk semuanya menuntut Pak Harto mundur.
Pukul 15.30. Pimpinan DPR memberikan pernyataan pers, “Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.” Kemudian mereka melayangkan surat resmi kepada Pak Harto untuk melakukan konsultasi.
Pukul 18.00 Pak Harto mengadakan pertemuan dengan beberapa Menteri termasuk Menhankam/Pangab.
Pukul 19.00 Mabes ABRI, Jalan Merdeka Barat. Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto memimpin rapat mendadak dengan Kepala Staf Angkatan/Polri, hadir juga para panglima komando utama ABRI yang berkedudukan di Jakarta. Para petinggi ABRI yang berdatangan satu-persatu nampak berwajah tegang.
Pukul 20.10. Pangab didampingi seluruh petinggai ABRI memberikan konprensi pers. ”Pernyataan Pimpinan DPR agar Presiden Soeharo mengundurkan diri merupakan sikap dan pendapat individual meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota Dewan melalui sidang paripurna DPR,” kata Menhankam/Pangab. Saat itu, Wiranto tidak memberi kesempatan wartawan bertanya-tanya lagi. Ia langsung beranjak lewat pintu belakang ruang konprensi pers tersebut. Seluruh petinggi ABRI mengikutinya. Di halaman parkir Wiranto memberikan briefing singkat, ”Selamat bertugas,” katanya. Dan langsung bubar.
Sementara itu di gedung DPR/MPR sekitar 100 orang memutuskan untuk menginap. Wakil Ketua DPR, Syarwan Hamid menghampiri mereka. Para mahasiswa minta izin untuk menginap dan minta dijamin keamanannya. Syarwan memenuhi permintaan tersebut. “Silakan saja. Kalau perlu bawa gitar kesini ...” kata Syarwan. Sejak malam itu, mahasiswa terus menerus mengalir ke DPR. Jumlahnya semakin banyak. Dan sebagian diantara mereka memutuskan tidak akan pergi dari gedung DPR/MPR sebelum Pak Harto mundur.
Pukul 21.00. Di kantor DPP Golkar, Slipi, berlangsung rapat pleno DPP Golkar. Tapi Tutut Dan Bambang Trihatmodjo, dua anak Pak Harto yang menjadi anggota tidak hadir. Menurut sebuah sumber, dalam rapat tersebut Harmoko dan Gafur diadili dan dikecam habis-habisan. Itu sama artinya anda telah menohok Pak Harto dari belakang. Padahal selama ini Anda dan kita semua di Golkar sudah dibesarkan oleh Pak Harto. Sedikit pun anda tidak memiliki moral poiltik.” kata salah seorang anggota DPP. Bahkan anggota lain ada yang mengejek, “dulu anda menjilat-jilat, sekarang anda mencampakan Pak Harto begitu saja..!” Tapi Harmoko dan Gafur membela diri dengan penuh emosi. “Itu adalah aspirasi rakyat, Golkar harus menyampaikan aspirasi rakyat...” Menurut sumber tadi, Harmoko dan Gafur dalam rapat tersebut sempat menangis sampai tersedu-sedu.
[Setelah Rapat Redaksi, sebagai penanggung jawab rubrik Nasional, saya mendapat tugas membuat hampir semua penugasan edisi reformasi, yang masih belum kita ketahui ujungnya.]
Selasa, 19 Mei.
Pukul 9.00. Di Istana Negara, Pak Harto mengadakan konsultasi dengan sembilan tokoh ulama dan cendekiawan. Dalam pertemuan yang berlangsung 2,5 jam, para tokoh tersebut menyampaikan bahwa yang dimaksud tunututan reformasi itu artinya sama dengan minta Pak Harto mundur. Setelah pertemuan tersebut Pak Harto menyampaikan keterangan kepada pers. “Bagi saya, sebenanarnya mundur atau tidaknya itu tidak menjadi masalah. Yang perlu kita perhatikan apakah dengan mundurnya saya keadaan ini akan segera bisa diatasi.”
Dari hasil pertemuan dengan tokoh cendekiawan dan ulama tersebut Pak Harto memutuskan akan memngambil langah-langkah: pertama, akan membentuk komite reformasi; kedua, melakukan reshufle kabinet; ketiga melakukan pemilu secepat-cepatnya berdasarkan UU Pemilu yang baru. Ia juga menegaskan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden.
Pukul 9.00 Di gedung DPR/MPR, pimpinan DPR mengadakan rapat dengan pinpinan Fraksi DPR. Rapat yang berlangsung selama 5 jam tersebut menghasilkan suatu kesimpulan; bahwa masyarakat menghendaki agar Pak Harto mundur sebagai Presiden.
Pukul 19.00. Pimpinan DPR kemudian mengirimkan surat kembali kepada Pak Harto mengenai hasil pertemuan dengan fraksi-fraksi di DPR itu. Pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden untuk melakukan konsultasi.
Sementara malam hari itu juga PakHarto mengadakan pertemuan dengan Mensesneg Saadillah Mursyid dan Yusril Izha Mahendra, staf khusus Sekretaris Kabinet. Malam itu mereka menyusun daftar nama calon anggota Komite Reformasi. Rencananya keanggotaan Komite reformasi tersebut akan diumumkan bersamaan dengan pengumuman kabinte baru hasil reshufle, pada hari Kamis Mei.
Dalam penyusunan Komite Reformasi yang nantinya beranggotakan 45 orang tersebut, Pak Harto mengusulkan sekitar 20 orang. Sedangkan Saadillah Mursyid serta Yusril Izha mengsulkan sekitar 25 orang.
Nama-nama yang diusulkan masuk dalam komite tersebut antara lain terdir dari pejabat negara, para rektor, agamawan dan cendekiawan. Dari kalangan kritis Yusril mengusulkan antara lain Gus Dur, Ali Sadikin, Megawati, Amin Rais, Arbi Sanit, Adnan Bunyung Nasution dan beberapa nama lainnnya. Pak Harto menyetujui semuanya. Bahkan Ia tersenyum-senyum ketika nama-nama tokoh vokal disebutkan. Menurut Yusril ketika menyebut nama Arbi Sanit, tiba-tiba Pak Harto berkomentar terkekeh-kekeh, “Nah ini kan orang yang dari dulu ngriktik saya, ha ha ha ...”
Pak Harto menurut Yusril malam itu nampak sangat ceria. Ia sempat bertanya, “Apa sih yang dikehendaki mahasiswa-mahasiswa itu?” Lalu Yusril menjawab, bahwa mahasiswa menghedaki Sidang Istimewa dan minta Pak Harto mundur. Kemudian Pak Harto dengan kalem mengatakan,”Mereka itu tidak mengerti, kalau Sidang Istimewa kan bisa berlarut-larut sehingga keadaan menjadi tambah kacau. Kalau sudah begitu ABRI akan mengambil kendali toh..”
[Sejak siang saya ke CPDS, dan melihat kesibukan rencana penyusunan kabinet reformasi. Beberapa nama dan nomor telpon sempat saya berikan ketika mereka menanyakan beberapa nama pakar dan tokoh.]
Rabu, 20 Mei.
Pukul 15.00 Di Gedung DPR/ MPR, seluruh perwakilan senat mahasiswa menemui pimpinan DPR. Mereka mendesak kepastian kapan Presiden mundur. Harmoko menjawab, ”kalau sampai hari jumat tidak ada tanggap dari presiden, maka pimpinan majelis akan mengundang mengundang fraksi-fraksi untuk membahas kemungkinan-kemungkinan diadakan Sidang Istimewa MPR”. Tapi mahasiswa terus mendesak kepastian waktunya, Akhirnya disepakati jika sampai hari Jumat Pak Harto tidak mengundurkan diri, maka MPR akan melakukan rapat dengan fraksi pada hari Senin mendatang. Para mahasiswa setuju.
Pukul 19.00 Pimpinan DPR melayangkan kembali sebuah surat kepada Pak Harto. Dalam surat tersebut disampaikan hasil kesepakatan antara Pimpinan DPR dan mahasiswa tersebut.
Pukul 18.00. Di Jalan Cendana No. 8 berlangsung rapat yang dipimpin oleh Mensegneg Saadillah Mursyid. Hadir waktu itu antara lain, Wakil Sekretaris Kabinet (Bambang Koesowo), Staf Khusus Sekab (Yusril Izha Mahendra), Sekretaris militer Presiden (Mayjen Jasril Yakob), staf khusus Mensesneg (Sunarto Sudarno) dan seorang Dokter Kepresidenan. Dalam rapat tersebut mereka membahas hasil persiapan pembentukan Komite Reformasi yang akan dilaporkan kepada Presiden malam hari itu. Sehari sebelumnya Saadilah Mursid dan Yusril Izah sudah mengumumkan bahwa Komite Reformasi akan diumumkan pada hari Kamis, 21 Mei.
Rapat dilakukan di salah satu ruangan di kediaman PakHarto itu berlangsung agak tegang, sebab dari 45 orang yang telah dihubungi ternyata hanya 3 orang yang menyatakan bersedia menjadi anggota. Tapi Yusril mengusulkan pengumuman anggota Komite Refiormasi ditunda saja setelah pembentukan Kabinte Reformasi. Lalu Ia bertanya kepada Saadillah Mursyid, apakah calon-calon menteri yang disusun Pak Harto itu sudah di kontak semua? Saadillah bilang, “Belum semua...” Lalu Yusril mengatakan, ”Wah keadaan bisa jadi gawat! “
Menurut Yusril, kalau pengumuman komite reformasi ditunda karena tidak ada yang bersedia masuk masih okelah. Tapi kalau kabinet reformasi diumumkan tapi ternyata sebagaia besar orang yang ditunjuk tidak bersedia, maka Pak Harto bisa kehilangan muka! Saadillah langsung bertanya,”Kenapa you bilang begitu?” Yusril langsung menyodorkan sehelai kertas, “Nih baca...” Yusril memperlihatkan sebuah surat kepada Saadilah Mursyid. Surat tanpa kop tersebut berisi pernyataan bersama yang ditandatangani 14 Menteri KebinetPembangunan VII yang intinya menolak masuk dalam kabinet baru hasil reshufle.
Walaupun tidak menyebutkan secara tegas, tapi isinya jelas-jelas jelas mendukung rekomendari dari Pimpinan DPR yang diampaikan pada Selama 19 Mei sebelumnya. Surat dari DPR isinya meminta diadakan Sidang Umum Istimewa dan meminta kepada Pak Harto agar mundur sebagai Presiden. Ketika membaca surat tersebut Saadilah Mursyid langsung panik . Rupanya Ia belum menerima surat tersebut.
Menurut Yusril Ia mendapat copy surat tersebut dari Akbar Tanjung saat menjelang menjelang Maghrib. Waktu itu Akbar Tanjung bilang, “saya nitip ini ke Pak Harto, barangkali beliau belum sempat membaca. Tapi Saya sudah juga sudah masukan lewat ajudan...”
Pukul 21.00. Ketika membaca surat tersebut Saadillah Mursyid nampak gemetaran. “Ini kan sebagian orang-orang yang masih jadi menteri lagi..” Lalu Sadilah Mursyid berniat masuk ke kamar Pak Harto untuk melaporkan surat tersebut. Saadilah menduga Pak Harto belum membaca surat tersebut, sebab bisa jadi masih tertahan dalam tumpukan-tupukan surat yang masuk melalui ajudan. Tapi tiba-tiba Wapres Habibie datang dan langsung menemui Pak Harto. Sementara menunggu pertemuan pertemuan Pak Harto dan Habibie itu, ke-6 orang tadi berdiskusi mengenai surat penyataan 14 meteri tersebut. Mereka mulai cemas.
Menurut Yusril, “Jika Pak Harto besok mengumumkan nama anggota kebinet, lalu ada diantara mereka yang menyatakan mundur berarti sama saja menampar muka Pak Harto.” Lalu mereka berdiskusi mengenai kemungkian-kemungkinan “penyelematan” terhadap Pak Harto.
Pukul 21.30 Habibie keluar dari kamar Pak Harto dan langsung pulang. Saadilah kemudian masuk ke dalam. Saadillah melaporkan bahwa tim reformasi belum bisa terbentuk. Lalu Ia menyodorkan surat pernyataan dari 14 Menteri tersebut. Pak Harto langsung menjawab, “Kalau begitu saya berhenti...” Saat itu juga Pak Harto memerintahkan Saadilah untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar rencana mundurnya Pak harto itu berjalan secara konstitusional. Pak Harto juga memerintahkan agar acara tersebut dilakukan di Istana Merdeka, besok hari. Saadillah Mursyid kemudian kembali ke ruangan menemui 5 orang tadi. Kemudian mereka mulai mempersiapkan pelaksanaan pasal 8 UUD 45 itu.
Selanjutnya mereka menghadap Pak Harto. Setelah dijelaska beberapa segi legalistas dari pasal tersebut, Pak Harto akhirnya setuju. Lalu mereka diperintahkan untuk menyusun pidato presiden yang akan dibacakan esok hari di Istana Negara. Kemudian Yusril, yang selama ini bertugas sebagai speech writer Pak Harto mulai menyusun draft pidato tersebut disaksikan oleh ke 5 orang tadi.
Pukul 23.00 Ajudan Presiden menelpon para undangan yang diminta hadir dalam acara yang akan dilangsungkan di Istana Negara tersebut. Malam itu juga ajudan menelpon Harmoko dan minta diteruskan kepada wakil-wakil ketua DPR. Konon saat itu Harmoko hanya diberitahu bahwa besok akan diterima Pak Harto untuk berkonsultasi. Selain, itu ajudan presiden juga diperintahkan untuk menghubungi Ketua MA agar datang ke Istana Negara. Konon pula, saat itu Ketua MA Sarwata tidak diberitahu acara yang akan berlangsung di Istana negara tersebut. Tapi belakangan seteleh mengechek kesana kemari. akhirnya mereka tahu bahwa pak Harto besok akan mengundurkan diri.
Pukul 24.00 Yusril menelpon Sarwata, Ketua MA. “Saya ingin jaminan legalitas dari MA agar pelaksanaan pasal 8 UUD 45 ini tidak melanggar konstitusi,” kata Yusril sambil menyebutkan pasal-pasal dalam Tap-Tap MPR yang mendukung pasal tersebut. Sarwata menyatakan “Tidak ada masalah..”
[Malam itu dengan tergopoh-gopoh Prabowo datang ke CPDS dan memberitahu bahwa Pak Harto akan mundur. Setelah itu dia berangkat ke Cendana. Namun tak sampai satu jam kemudian dia kembali ke CPDS dengan ekspresi sedih dan kacau. Rupanya Prabowo diusir dari Cendana oleh putra-putri Pak Harto, karena dianggap mengkhianati Mertuanya sendiri]
Kamis 21 Mei.
Pukul 1.30. Rencana Pak Harto mau mundur menyebar keseluruh penjuru. FORUM mengontak Tutut melalui telepon. Benarkah PakHarto mau mundur? “Iya, itu keputusan Bapak. Lebih baik mundur kan dari pada terus menerus dimakai-maki...” katanya. Menurut Tutut dari dulu Bapaknya sudah tidak mau jadi Presiden, tapi karena didesak-desak terus terus dan seluruh fraksi MPR mencalonkannya akhirnya Pak Harto bersedia lagi dipilih dalam SU MPR 1998. “Tapi sekarang Bapak malah dimaki-maki, ya lebih baik Bapak mundur toh..”
Ketika ditanya apa rencana Bapak selanjutnya? ”Ya sudah, bapak jadi warga negara biasa...” Lalu apa rencananya sendiri” Saya belum tahu mau ngapain. Lebih baik diam aja deh. Biar suasananya tenang dulu,” katanya. Apakah Anda masih ingin meneruskan karir politiknya di Golkar? “Akh, Saya ennggak mau ngomong politik dulu. Saya mau tenang dulu...” katanya.
Pukul 4.00. Di Jalan Cendana no 8. Teks pidato presiden selesai disusun. Pidato tersebut diberi judul “Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden RI”. Lalu diserahkan kepada Pak Harto. Menurut Yusril wajah pak Harto waktu itu nampak tenang sekali. Yusril mengaku hampir tidak kuat menahan perasaannya waktu itu. Hatinya berntanya mengapa Pak Harto tiba-tiba mengambil keputusan untuk berhenti. “Saya yakin karena ada surat dari 14 menteri itu,” kata Yusril kepada FORUM.
Pukul 7.00 Seluruh pimpinan DPR berkumpul di kediaman Harmoko, mereka melakukan rapat singkat. Pagi itu mereka sudah mengetahui apa yang akan terjadi di Istana Negara nanti. Kemudian mereka bersama-sama menuju Istana negara.
Pukul 8.30 Pimpinan DPR sampai di Istana Negara lalu dipersilkan menunggu. Presiden saat itu sedang mengadakan pertemuan dengan Ketua MA di ruang Jepara. Beerapa kemudian giliran Pimpinan DPR dipanggil masuk.
Pukul 8.45. Berlangsung konsultasi antara Pimpinan DPR dan Presiden. Saat itu menurut sebuah sumber Harmoko sudah menyampaikan surat dan beberapa dokumen kepada Pak Harto. Tapi Pak Harto mengatakan sudah membacanya. Lalu Pak Harto mengatakan, “karena semua fraksi-fraksi di DPR menghendaki saya mundur, maka saya akan berhenti...”
Harmoko mengatakan menyela, “Lho, kan yang mengangkat Bapak MPR?” Tapi Pak Harto langsung bilang, “Akh enggak usah. DPR itu dengan 500 orang kan sudah cukup...” Pak Harto kemudian mengatakan, “Saya akan memenuhi permintaan DPR dan pimpinan Fraksi-Fraksi DPR. Saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45...”
Pukul 9.00 Pak Harto beranjak dari ruangan Jepara. Sambil berdiri Ia meminta agar kelima orang pimpian DPR tersebut tetap di ruangan tersebut. ”Saudara-saudara disini saja. Biar saya yag mengumumkan kepada masyarakat,” katanya.
Pukul 9.05 Pak Harto membacaka pidato “Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia”. Setelah itu Pak Harto kembali ruang Jepara. Lalu Pak Harto bilang, ”Saya sudah tidak jadi Presiden lagi. Tadi Wapres sudah diangkat menjadi Presiden.” Lalu terakhir Pak Harto berpesan, “Saya berharap DPR melaksanakan fungsi sebaik-baiknya.” Selanjutnya Pak Harto meninggalkan ruangan tersebut. Ia langsung pulang menuju jalan Cendana didampingi putri sulungnya Tutut.
[Letjen Sjafrie Sjamsoeddin bercerita bahwa ternyata dia juga difitnah sebagai orang yang menjatuhkan Pak Harto oleh keluarga Cendana bahwa dialah yang memfasilitasi para mahasiswa menduduki DPR. Padahal, kendaraan yang disiapkan atas perintah Panglima TNI Jenderal Wiranto itu tidak pernah dipakai mahasiswa.]
Jumat, 22 Mei
Kawasan sekitar kediaman Pak Harto di Jalan Cendana masih dikawal oleh aparat keamanan. Tentara bersaragam loreng, nampak berjaga-jaga disetiap sudut jalan masuk ke komplek kediaman mantan Presiden tersebut. Pada malam hari, beberapa tentara nampak berjalan kaki melakukan patroli diskeitar kawasan tersebut. Beberapa tank nampak di pasang di beberapa ujung jalan menuju Cendana. Konon menurut sebuah sumber ketika “konflik” antara Wiranto da Prabowo mencuat pada hari itu, ada beberapa orang yang datang kepada Pak Harto agar masalah tersebut ditengahi. Tapi Pak Harto sudah lepas tangan. Ia cuma bilang, “Kalian semua yang menghedaki ini toh..” katanya sambil meninggalkan tamu tersebut. Pak Harto nampaknya betul-betul sudah kapok menjadi Presiden.
[Mutasi dan Serah Terima Jabatan pejabat TNI pada Jum'at, 22 Mei dan Sabtu, 23 Mei 1998 di luar kebiasaan. Tak seperti biasanya serah terima jabatan berlangsung tanpa upacara militer yang meriah dan bahkan tertutup . Menurut Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigjen TNI I Dewa Putu Rai, serah terima jabatan Panglima Kostrad berlangsung pukul 17.30 WIB. Konon, sore itu jabatan Pangkostrad diserahterimakan dari Letjen TNI Prabowo Subianto kepada pejabat baru, Mayjen TNI Johny Lumintang. Ada dua versi tentang lokasi serah terima jabatan yang beredar di kalangan wartawan. Yang satu di Makostrad Merdeka Timur, sementara satu versi lagi di Markas Besar TNI AD di Merdeka Utara.
Prabowo diserahi jabatan Komandan Sekolah Staf dan Komando (Dansesko) ABRI, menggantikan Letjen TNI Arie J Kumaat dari AMN angkatan 1966 . Acara dipimpin KSAD Jenderal TNI Subagyo Hadi Siswoyo. Pergantian ini tentu saja cukup mengagetkan bagi banyak kalangan. Soalnya, kedua perwira tinggi itu belum lama mereka menduduki jabatan masing-masing. Prabowo, --AKABRI angkatan 1974-- baru 63 hari menduduki posisi Pangkostrad, sementara Johny --AKABRI angkatan 1970-- bahkan baru diangkat sebagai Asisten Operasi Kasum ABRI sejak awal April 1998 ini.
Sehari kemudian, seusai pelantikan Kabinet Reformasi Pembangunan Sabtu 23 Mei lalu, berita tentang mutasi itu dikoreksi oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto. Kepada wartawan, Wiranto meluruskan bahwa jabatan Pangkostrad diserahkan dari Prabowo kepada Mayjen TNI Djamari Chaniago. Djamari --AKABRI angkatan 1971-- yang masih menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi.
Soal Mayjen TNI Johny Lumintang yang sebelumnya diberitakan menjadi Pangkostrad, Menhankam/Pangab menjelaskan bahwa sejak Jum'at malam hingga Sabtu pagi itu ia sebetulnya bertindak sebagai caretaker. Caretaker ini konon mendapat tugas untuk mengkonsolidasikan pasukan yang tersebar di seluruh wilayah DKI. "Pasukan Kostrad banyak sekali, jadi perlu seorang caretaker untuk mengonsolidasikan satuan, setelah itu jabatan diserahkan kepada pejabat definitif, yaitu Djamari Chaniago," ujar Wiranto.
Tapi seberapa gawatnyakah situasi ibu kota sehingga diperlukan seorang caretaker untuk mengkonsolidasikan pasukan? Bukankah di Makostrad masih ada Kepala Staf Kostrad, Mayjen TNI Kivlan Zein? "Yang jelas, selama 16 jam menjabat sebagai Pangkostrad itu, Johny baru sempat melakukan brieffing kepada 10 Satuan Setingkat Kompi (SSK) untuk mengamankan Jakarta," kata sebuah sumber Forum.
Nah, rupanya, pada acara pergantian jabatan dari Prabowo kepada Johny berlangsung tidak seperti acara serah terima jabatan yang lazim dilakukan. Konon, begitu mendapatkan SKEP dari Menhankam/Pangab, Prabowo segera menghadap KSAD Jenderal TNI Subagyo untuk menyerahkan tugas dan jabatan Pangkostrad kepada KSAD di Mabes TNI AD.
Beberapa waktu kemudian, terjadilah penyerahan tugas dan tanggungjawab Pangkostrad dari KSAD, Jenderal TNI Subagyo kepada Mayjen TNI Johny Lumintang di Makostrad Merdeka Timur. Peristiwa itu pun menurut beberapa pejabat militer yang hadir, berlangsung mendadak dan sangat cepat. Hari itu Prabowo tak bertemu dengan Johny. "Tapi siang itu juga Johny sudah berkantor di Makostrad," ujar sebuah sumber FORUM di Kostrad.
Selang beberapa jam kemudian, setelah melihat perkembangan terakhir, tampaknya keputusan pimpinan ABRI bergeser. Entah mengapa SKEP Pangkostrad yang semula berada di tangan Johny Lumintang akhirnya digeser ke tangan Djamari Chaniago. Belakangan baru diketahui bahwa pergeseran itu akibat usulan seorang tokoh pemuda kepada Wiranto. Serah terima jabatan Pangkostrad dari Johny kepada Djamari dilakukan hari Sabtu, 23 Mei sekitar pukul 11.30. "Meski tak sampai sehari, foto dan nama Johny Lumintang akan terpampang di Makostrad sebagai Pangkostrad ke-23," kata sebuah sumber FORUM di Kostrad.
Mutasi juga terjadi di lingkungan Korps Pasukan Khusus (Kopassus). Jabatan Komandan Jenderal Kopassus diserahterimakan dari Mayjen TNI Muchdi Purwopranjono kepada Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Syahrir MS. Pergantian ini pun cukup mengejutkan karena Muchdi juga baru 55 hari menjabat Danjen Kopassus setelah menggantikan Prabowo 28 Maret 1998. Pangdam Jaya Mayjen TNI Syafrie Syamsuddin, salah satu kawan Prabowo, diganti beberapa minggu kemudian.]

Posting Komentar untuk "Detik-detik Keruntuhan Suharto"