Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jokowi, Dengarlah Suara Mustazafin !


Dear Presiden,

Ketika matahari telah condong ke barat dan banyak orang gelisah, saya ingin memperingatkan Bapak: Jangan sepelekan suara mustazafin! Mereka bukan hanya kaum papa di pinggir jalan, tapi mencakup kaum intelektual yang pikiran dan nuraninya teraniaya.

Mereka adalah orang-orang dari semua bangsa dan semua zaman yang senantiasa berperan menghancurkan sistem yang korup untuk membangun tatanan baru yang adil bagi semua. Tanpa mereka pelita bangsa akan pudar, lalu lenyap.

Hari ini semakin banyak mustazafin yang berhenti menghormati Bapak. Bapak sendiri yang membuang habis marwah Bapak sebagai presiden. Tak tersisa lagi kemuliaan yang melekat pada status formal Bapak itu.

Presiden bisa khilaf, tapi tak boleh menjadi penjahat konstitusi. UUD dirancang untuk menjadi dasar dan tujuan bernegara. Dalam konsep kenegaraan, ia adalah "kitab suci" yang mengatur perilaku penguasa untuk semata berkhidmat kepada kepentingan rakyat, pemilik kedaulatan, bukan untuk mengabdi pada kepentingan sendiri, kelompok, dan pihak asing.

Biar begitu, presiden RI diberi kekuasaan yang sangat besar agar ia lebih leluasa menerjemahkan visinya ke dalam pilihan kebijakan untuk menghadirkan kesejahteraan kepada seluruh warga secara adil. Keadilan akan berdampak pada terbangunnya persatuan bangsa yang kini berantakan akibat politik belah bambu Bapak.

Nyatanya, Bapak menggunakan kekuasaan -- yang diamanatkan rakyat kepada Bapak untuk mewujudkan tujuan bernegara -- untuk kepentingan keluarga Bapak dan orang-orang yang sudah sangat kaya. Sepertinya konstitusi Bapak perlakukan sebagai naskah yang tak lagi berguna. Pantas saja orang-orang yang mencintai negara ini khawatir melihat perilaku Bapak.


Dear Presiden,

Ketika rakyat menjatuhkan pilihan kepada Bapak dalam dua pilpres terakhir, tak ada yang menyangka orang yang nampak lugu seperti Bapak kelak akan melakukan abuse of power secara vulgar.

Bahkan, Soekarno dan Soeharto pun tidak memperkosa konstitusi secongkak yang Bapak lakukan. Tak heran, guru besar hukum tata negara Denny Indrayana sampai merasa perlu menyurati DPR untuk meminta para anggotanya  yang digaji dengan uang rakyat untuk menggunakan hak angket mereka.

Memang Denny bukan org pertama yang mempertanyakan kesewenang-wenangan Bapak menerabas konstitusi, tapi dia adalah pakar hukum tata negara pertama yang meminta parlemen menyelidiki pelanggaran-pelanggaran konstitusional yang Bapak lakukan.

Dia berharap proses politik yang berlangsung di DPR terkait penggunaan hak angket berujung pd pemakzulan Bapak. Sikap Denny adalah suara mustazafin. Karena itu, ia disambut dan digemakan banyak kalangan di sini.

Apakah Bapak tak takut? Asal tahu saja bahwa semua penguasa zalim takut pada mustazafin. Bukankah semua revolusi besar dunia digerakkan oleh mereka? Dan para raja, otokrat, dan diktator pun bertumbangan secara hina? Mungkin Bapak tak tahu sejarah dunia karena, sebagaimana pengakuan Bapak sendiri, Bapak tak suka membaca buku.

Tapi gerakan reformasi 1998 yang digerakkan mustazafin terjadi di ujung hidung Bapak, mungkin ketika itu  Bapak juga ikut hanyut dalam arus itu. Tak bisakah Bapak pelajari sebab-sebab keruntuhan rezim Orde Baru? 


Dear Presiden,

Soeharto dijatuhkan bukan lantaran melanggar konstitusi -- setidaknya itu bukan isu yang disuarakan mahasiswa dan mustazafin -- melainkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang skrng Bapak lakukan juga.

Soekarno dilengserkan juga bukan lantaran melanggar UUD 45, melainkan insiden politik yang dihasilkan oleh kesalahan membangun kekuatan politik nasional dengan tujuan memperkuat kekuasaannya. Ini juga yang Bapak lakukan sekarang.

Terus terang, dari sisi konstitusi, pelanggaran yang Bapak lakukan lebih serius dan mencolok ketimbang apa yang dilakukan dua presiden itu. Sebenarnya yang diungkap Denny terkait abuse of power bukan isu baru. sudah lama mustazafin memperingatkan Bapak tentang hal itu. 

Bahkan, lebih dari itu, mereka juga menyorot kebijakan-kebijakan ngawur dan mubazir bidang ekonomi yang Bapak lakukan. Juga kebebasan berpendapat dan pelanggaran HAM. Tapi Bapak cuek bebek.

Nilai lebih dari apa yang disampaikan Denny dari Melbourne adalah keberaniannya mengikuti suara hatinya untuk mendesak parlemen melucuti kekuasaan Bapak. Pasalnya, Bapak menggunakannya untuk menciptakan pemilu curang. Tidak mungkin presiden yang menguasai tentara, polisi, birokrat, dan institusi-institusi pemilu -- dan telah menyatakan akan berpihak pada capres tertentu -- akan menyelenggarakan pemilu yang fair. Demokrasi pun terancam. Ternyata, Bapak bukan anak kandung gerakan reformasi.


Dear Presiden,

Keberanian menyuarakan kebenaran adalah awal dari gerakan besar. Ketidakpuasan terhadap Soeharto sudhah sangat lama disuarakan mustazafin, tapi suara itu baru menjadi api yang berkobar setelah dikumandangkan Amien Rais.

Tentu saja setelah hadir kondisi ekonomi yang memungkinkan hal itu terjadi. Kondisi ekonomi sekarang mungkin belum seburuk menjelang Soeharto ditumbangkan, tapi abuse of power Bapak telah membangunkan mustazafin.

Ingat, Amien Rais msh hidup! Juga Rizal Ramli dan Faisal Basri. Beberapa waktu lalu Amien Rais bersuara keras tentang perilaku ugal-ugalan pemerintahan Bapak. Jangan mengira Amien kini telah menjadi macan ompong yang sedang menunggu ajal.

Suara mustazafin tidak mengenal usia. Pikiran Amien masih jernih dan protesnya msh didengar banyak orang. Rupanya Bapak harus tahu juga bahwa revolusi Iran 1979, salah satu revolusi terbesar sepanjang sejarah, digerakkan oleh lelaki yang sudah uzur.

Ketika itu Imam Khomeini telah berusia 79 tahun. Lebih spektakuler lagi, ia menggerakkan revolusi dari pengasingan yang merobohkan monarki berusia 2.500 tahun dengan kekuatan militer terbesar kelima di dunia dan didukung AS.

Boleh jadi Denny tak dapat memobilisasi gerakan massa dari Melbourne, tapi suara kebenarannya -- yang juga disuarakan mustazafin semacam Rocky Gerung -- akan terus menggelinding bak bola salju. Lalu, berubah menjadi gerakan sosial massif, yang lazimnya tak dapat dibendung oleh kekuatan apapun juga.


Dear Presiden,

Sebaiknya sekarang juga Bapak tampil di tengah publik untuk berikrar tobat nasuha. Bapak harus berjanji sungguh-sungguh bahwa Bapak akan memerintahkan bawahan Bapak, KSP Moeldoko, untuk berhenti membegal Partai Demokrat. Aksi Moeldoko, yang sangat mungkin disuruh Bapak, terlalu menjijikkan.

Caranya : batalkan persetujuan tukar guling KPK dengan MA. Sebagaimana dikatakan Denny berdasarkan info yang diklaim valid, KPK memaksakan MA mengabulkan Peninjauan Kembali Moeldoko kalau tidak ingin kasus-kasus korupsi di sana dibongkar KPK.

Bapak juga harus berhenti mengarahkan koalisi parpol dengan capres-cawapres yang Bapak inginkan. Ini juga yang diungkap Denny dalam suratnya kepada DPR. Terakhir, Bapak mencabut pernyataan "tidak akan bersikap netral" dalam pilpres. Maaf, ini pernyataan arogan dari orang yang bebal.

Bagaimana mungkin hal itu bisa dilakukan presiden di negara demokrasi? Ini preseden buruk yang membahayakan konstitusionalisme negara dan kelangsungan demokrasi. Berhentilah berpikir seolah Indonesia adalah monarki milik keluarga Bapak.

Dan Bapak harus menjelaskan secara logis konstitusional mengapa Anies Baswedan Bapak anggap sebagai org berbahaya. Indikator apa yang Bapak gunakan? Bukankah diksi radikal, intoleran, dan politik identitas yang ingin Bapak sematkan kepada Anies hanyalah tipu muslihat untuk menjustifikasi aniaya Bapak atas mantan gubernur Jakarta itu? Bahkan, untuk menggembosi aspirasi umat Islam yang kritis terhadap Cina dan kebijakan Bapak yang pro-oligarki bukan?


Dear Presiden,

Alasan Bapak menggencet Anies dgn alasan demi bangsa dan negara ke depan tak bisa diterima akal sehat dan nurani siapapun kecuali sekutu-sekutu Bapak yang sedang menikmati kue dari pemerintahan Bapak. Bukankah legacy yang akan Bapak tinggalkan banyak masalahnya? Apakah masuk akal pengganti Bapak harus meneruskan proyek-proyek infrastruktur, terutama IKN, yang mubazir? Proyek yang menggunakan duit rakyat hanya untuk berakhir sia-sia.

Apakah Anies tak punya pikiran sehingga kalau nanti menjadi presiden dia akan menelantarkan bangsa ini? Masuk akalkah mengandalkan Ganjar Pranowo yang nirprestasi dan nirintegritas melanjutkan legacy Bapak yang berkelindan dengan berbagai masalah?

Mengapa Anies, yang menjanjikan perubahan atas tatanan ekonomi dan politik nasional yang destruktif, harus disingkirkan dari arena pilpres bak penjahat? Padahal, ketika memimpin Jakarta dulu ia telah menunjukkan kualitas kepemimpinan kelas wahid.

Kalau Bapak saja merasa mampu mengelola negara, mestinya Bapak yakin Anies lebih mampu daripada Bapak karena dia membaca buku sangat banyak. Bukan komik Doraemon dan Sinchan, melainkan buku-buku serius karya pemikir dunia.

Percayalah kalau Bapak tetap ugal-ugalanan mengurus negara, jangan heran kalau kian banyak mustazafin bermunculan. Juga, meskipun realitas politik saat ini nampak "tak memungkinkan" DPR memproses permintaan Denny, bukan mustahil lobi-lobi politik di DPR untuk memakzulkan Bapak akan membuahkan hasil.

Terutama bila adzan Denny direspons mahasiswa. Bukankah dulu anggota DPR yang sengaja dipilih untuk mendukung rezim Orba pada akhirnya berbalik arah memusuhi Soeharto? Maka, kita menyaksikan strong man itu memilih berhenti ketimbang di-impeach MPR dan meninggal sebagai orang yang dilupakan.


Dear Presiden,

Sekarang terserah Bapak. Silahkan Bapak menyepelekan suara mustazafin. Tapi terlebih dahulu Bapak harus menyadari bahwa sesungguhnya Bapak tak sekuat yang Bapak kira dan bahwa tidak mungkin lagi Bapak bisa membungkam suara mustazafin.

Tidak mungkin lagi Bapak meneruskan cawe-cawe pilpres. Semua ada batasnya dan Bapak telah melampaui batas yang dilarang keras oleh Islam, agama yang Bapak peluk.

Tentu saja Allah tidak main-main dengan firman-Nya: Tegakkan keadilan! karena sesungguhnya ketidakadilan adalah akar semua revolusi dan penderitaan manusia. Semoga Bapak tdk terlambat untuk berbenah diri.




Tangsel, 9 Juni 2023

Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)


Sumber :

https://saksi-demokrasi.id/article/609/609-jokowi-dengarlah-suara-mustazafin

Posting Komentar untuk "Jokowi, Dengarlah Suara Mustazafin !"